Selamat datang di blognya orang-orang yang selalu belajar Semoga blog ini dapat menjadi media pembelajaran dan komunikasi khususnya kader-kader IPNU-IPPNU Kab Cilacap

Galery PC IPNU IPPNU Cilacap

Rabu, 06 Juli 2011

PC IPNU IPPNU Cilacap Safari ke Dayeuh Luhur

Cilacap merupakan wilayah yang panjang, pada tanggal 28 juni 2011 yang lalu , Pimpinan Cabang IPNU IPPNU Kab Cilacap mengadakan Shilaturrahmi dan kunjungan kerja di dayeuh Luhur, wilayah paling ujung dari kabupaten cilacap. kegiatan yang di ikuti oleh pimpinan cabang dan Pimpinan Anak cabang yang dekat dan berminat untuk ikut.
Kegiatan ini bertujuan untuk menghidupkan kembali ghiroh dari PAC Dayeuh luhur khususnya dan menambah erat shilaturahim antara  PC dan PAC-PAC di kabupaten Cilacap. kegiatan yang diisi dengan beramah tamah dengan kader IPNU IPPNU di Dayeuh Luhur dan tadzabur Alam.
ini dia Galery Dayeuh Luhur on The Road....
Baru sampai di rumah rekan Jalil, luar biasa..... Cuapenya.... 


Mulai sarasehan dengan tema " Kupas Tuntas IPNU IPPNU" rekanita Leny Membuka acara dengan bacaan Ummul Kitab.... Al fatihah.....

rekan amir, serius banget tuh kan....?


Senin, 04 Juli 2011

Membaca Derap Perjuangan IPNU - IPPNU

Pada  muktamar (sekarang disebut Kongres) I di Malang pada 28 Pebruari-5 Maret 1955, yang diikuti tidak kurang dari 30 cabang dan beberapa utusan pesantren. Muktamar ini menjadi pijakan penting karena salah satu keputusan pentingnya adalah Legalisasi Organisasi. Pada perhelatan ini jugalah IPPNU lahir, tepatnya pada 2 Maret 1955, meski awalnya bernama IPNU Putri. Beberapa bulan sebelumnya gagasan pendirian organisasi pelajar NU putri ini sebenarnya sudah bergulir. Hal ini karena IPNU hanya beranggotakan pelajar putra. Karena itu, beberapa remaja putri yang sedang menuntut ilmu di Sekolah Guru Agama (SGA) Surakarta, menggagas perlunya wadah bagi pelajar putri NU. Akhirnya dibentuk tim perintisan IPNU Putri pada kongres I IPNU di Malang Jawa Timur. Selanjutnya disepakati dalam pertemuan tersebut bahwa peserta putri yang hadir di Kongres Malang dinamakan IPNU Putri.
Dalam suasana kongres ternyata keberadaan IPNU Putri nampaknya masih diperdebatkan secara alot. Menyikapi hal itu maka pada hari kedua kongres, peserta putri yang hanya diwakili lima daerah (Yogyakarta, Surakarta, Malang, Lumajang, dan Kediri) terus melakukan konsultasi dengan ketua PB LP. Ma’arif NU, KH. Syukri Ghozali dan Ketua PP Muslimat NU, Mahmudah Mawardi. Tanggal 2 maret 1955M/8 Rajab 1374 H dideklarasikan sebagai hari kelahiran IPNU Putri. Untuk menjalankan roda organisasi selanjutnya ditetapkan sebagai Ketua Umum pertama yaitu Umroh Mahfudhoh. Selanjutnya Pimpinan Pusat memberitahukan dan memohon pengesahan resolusi pendirian IPNU Putri kepada PB LP. Ma’arif NU. Kemudian PB LP. Ma’arif NU menyetujui dengan merubah nama IPNU Putri menjadi IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama)
Pada era ini Indonesia dilanda destabilitas politik. Kondisi ini disebabkan pertarungan ideologi antar kekuatan partai politik dan diperparah dengan keterlibatan militer dalam panggung politik. Konflik politik dan ideologi dalam pentas nasional di atas merembes pada semu organ underbow parpol. Kondisi ini memaksa organ-organ muda pun terbelah dalam pertentangan ideologis sesuai dengan afiliasi politik masing-masing. Garis front kiri dan front kanan dalam organ kaum muda kian jelas. Perpecahan terjadi antara GMNI (Ger Mhs Nas Ind), HMI (Him Mhs Islam), GMKI (Ger Mhs Kristen Indonesia), PMKRI (Perhimp mhs Katolik Rep Indo) , dan Germasos HMI berafiliasi ke Masyumi, GMNI ke PNI, Germasoso ke PSI (Partai Sosialis Indo), dan IPNU serta neven-neven NU lainnya berafiliasi ke Partai NU.
Dalam pergolakan itulah IPNU terus meniti garis perjuangannya sambil terus melakukan konsolidasi internal. Setelah berjalan dua tahun, Muktamar II IPNU dan Muktamar I IPPNU diselenggarakan di Kota Batik Pekalongan pada 1-5 Januari 1957. Kebijakan-kebijakan strategis yang dirumuskan dalam muktamar ini antara lain konsolidasi organisasi, pengembangan cabang-cabang ke luar Jawa dan pondok pesantren. Sejak muktamar ini penataan organisasi dan pengembangan cabang-cabang dicanangkan.
Muktamar III dan II dilaksanakan di Cirebon pada 27 Desember 1958 - 2 Januari 1959. Krisis politik dan ekonomi menjadi salah satu bahan pembahasan. Pengembangan cabang masih menjadi prioritas. Juga diputuskan penerbitan buku panduan organisasi, administrasi dan pola kerja organisasi. Muncul gagasan pembentukan Departemen Perguruan Tinggi sebagai respons atas desakan pendirian IMANU (Ikatan Mhs Nah Ulama). Kepengurusan hasil Muktamar Cirebon ini dalam perjalanannya memiliki dinamika dan mencatat peran sejarah tersendiri. Salah satu keputusan munomentalnya adalah IPNU telah membidani lahirnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebuah organ khusus mahasiswa di kalangan NU.
Dua tahun setelah itu dilaksanakan Muktamar IV/III IPNU-IPPNU pada 11-14 Pebruari 1961 di Yogyakarta. Muktamar ini menghasilkan 9 program kerja dan rekomendasi, pemantapan pendirian PMII, penggantian istilah Muktamar menjadi Kongres, finalisasi lambang IPNU dll.
Kongres V/IV dilaksanakan di Purwokerto pada Juli 1963 masih dalam setting instabilitas politik dan ekonomi. Situasi ini menuntut peserta kongres merespons dalam agenda-agenda sidang yang kemudian menjadi rekomendasi. Dalam kongres ini diputuskan peneguhan menyebutan NU dalam IPNU untuk selamanya. Hal ini dilakukan karena muncul gagasan kontroversial untuk menghilangkan kata “NU” dalam akronim “IPNU”.
Kongres VI/V dilaksanakan di Surabaya pada 20-24 Agustus 1966. penyelenggaraan kongres ini berada di tengah situasi politik dalam negeri sedang panas-panasnya. Sebagai respons atas situasi ini IPNU mengkonsolidir “sayap militer”nya yaitu Corp Brigade Pembangunan (CBP). Respons politik diberikan oleh IPNU-IPPNU bukah hanya dengan pernyataan sikap, melainkan juga dengan aktif turun ke jalan.  Melalui kongres ini dirumuskan penguatan organ dengan sebutan gerakan penguatan ranting, perencanaan pelatihan, pembinaan kader dan sosialisasi Aswaja. Dalam kongres ini pula IPNU-IPPNU merumuskan sistem pendidikan NU. Di samping itu juga diputuskan kantor pusat IPNU pindah dari Yogyakarta ke  Jakarta.
Kongres berikutnya, Kongres VII/VI diselenggarakan di Semarang pada 20-25 Agustus 1970. Kongres ini merupakan yang pertama dilaksanakan pada masa Orde Baru. Selain berbagai keputusan internal, seperti ikrar tentang IPNU sebagai satu-satunya organ santri dan pelajar NU, kongres juga memberikan respons politik terhadap perkembangan dalam atmosfir politik berkaitan dengan konsolidasi Orba yang mulai menunjukkan watak otoritarian-birokratiknya. Kongres ini juga mengkritisi militerisme, desakan menaikkan anggaran pendidikan sampai 25% dari APBN.
Kongres VIII/VII diselenggarakan agak terlambat sebagai implikasi penjinakan yang dilakukan oleh Orde Baru. Secara sistematis Orba melakukan pengebirian terhadap ormas dan meluncurkan kebijakan penyeragaman ideologi, depolitisasi dan deideologisasi. Kongres yang seharusnya dilaksanakan pada 1973 itu baru terlaksana pada 26-30 Desember 1976.di Wisma Ciliwung Jakarta. Selain penyempurnaan PD/PRT dan perumusan program kerja, pada kongres ini juga dibangun aliansi strategis antar-pelajar.
Kongres IX/VIII dilaksanakan di Cirebon pada 20-25 Juni 1981. Kongres ini menghasilkan berbagai keputusan penting menyangkut pola program organisasi, penguatan pelatihan, pengesahan pedoman pengkaderan dll.
Setelah sempat tersendat-sendat akhirnya IPNU-IPPNU berhasil menyelenggarakan Kongres X/IX di Pondok Pesantren Mamba’ul Maarif, Denanyar Jombang pada 29-31 Januari 1988. Kongres ini mencatat sejarah penting karena dalam perhelatan itulah IPNU-IPPNU terpaksa merubah singkatan menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama dan Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan UU No.8/1985 tentang Keormasan. Melalui UU itu dan sederan peraturan lain, pemerintah melarang keberadaan organisasi pelajar kecuali OSIS.
 Selanjutnya, Kongres XI/X diselelnggarakan di Lasem Rembang pada 1992. Sebagaimana kongres-kongres sebelumnya, pada kongres ini terjadi revisi PD/PRT dan dirumuskan berbaagi langkah strategis untuk memberdayakan pelajar dan remaja pada umumnya.
Setelah mengarungi perjalanan yang terjal dan berliku, akhirnya PP IPNU dan IPPNU menyelenggarakan Kongres XII/XI di Garut, Jawa Barat pada 10-14 Juli 1996. Melalui kongres ini periode Pimpinan Pusat diubah dari lima tahun menjadi empat tahun. Usia maksimum yang awalnya 32 tahun menjadi 35 tahun. Kongres ini berlangsung pada akhir kekuasaan Orde Baru. Jaringan dengan berbagai organ lain dibangun pada masa kepengurusan hasil kongres ini. IPNU-IPPNU juga ikut membidani lahirnya Forum Komunikasi Pemuda Indonesia bersama PMII, GMNI, PMKRI, GMKI dan Hikmahbudhi (himp Mhs budhis Indo).
Kongres XIII/XII dilaksanakan di Makassar pada 22-26 Maret 2000 yang dihadiri oleh Presiden Gus Dur. Hal yang monumental dalam kongres ini adalah lahirnya Deklarasi Makassar yang manguatkan basis IPNU-IPPNU pada pelajar (siswa dan santri), dengan tatap menggarap remaja usia pelajar pada umumnya. Setelah kongres ini IPNU-IPPNU melakukan gebrakan dengan mendirikan komisariat IPNU-IPPNU di sekolah, pesantren dan perguruan tinggi.
Kongres XIV IPNU dan Kongres XIII IPPNU dilaksanakan pada 18-24 Juni 2003 di Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Kongres terakhir ini menorehkan catatan sejarah mahapenting dalam perjalanan IPNU-IPPNU. Dalam kongres inilah kegelisahan untuk kembali menjadi organsasi pelajar menemukan puncaknya. Dengan dimotori oleh Jawa Tengah kongres yang berjalan sangat alot akhirnya berhasil mengembalikan IPNU-IPPNU ke khittah-nya. IPNU berubah menjadi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan IPPNU menjadi Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama.
Babak baru perjalanan IPNU-IPPNU dimulai. Keputusan untuk mengembalikan IPNU-IPPNU ke pelajar dianggap menjadi pilihan yang terbaik di tengah perubahan dan kompleksitas tantangan yang dihadapi Nahdlatul Ulama. Paling tidak ada dua alasan besar yang dapat dikemukan. Pertama, dari sisi kesejarahan, kembali ke pelajar dianggap penting karena perubahan nama menjadi “Putra” dan “Putri-Putri” pada tahun 1988 adalah kecelakaan sejarah. Tekanan pemerintah waktu itu adalah hal yang tidak dapat dilupakan sebagai faktor utama perubahan nama. Jelas, perubahan itu penuh dengan nuansa politis dan sekadar strategi untuk mempertahankan eksistesi ketimbang karena kebutuhan. Nah, kini saat kebebasan berorganisasi dibuka lebar dan tidak ada intervensi apapun terhadap keberlangsungan organisasi, produk lama itu tidak perlu pertahankan.
Kedua adalah alasan kebutuhan. Pelajar NU sebagai kekuatan masa depan pada waktu-waktu lalu tidak mendapat perhatian yang optimal oleh Nahdlatul Ulama. Pelajar -yang juga termasuk santri- disadari sebagai komponen penting yang harus dibina dan diapresiasi, karena komponen inilah yang sejatinya menjadi aset masa depan. Akibat dari tidak adanya perhatian dan pembinaan yang khusus, tidak sedikit kalangan muda terdidik ini yang mengalami pembusukan. Oleh karena itu saat ini dibutuhkan organisasi yang secara intensif menjadi wadah aktualisasi bagi pelajar dan santri NU. IPNU-IPPNU yang kelahirannya memang sebagai tempat untuk mewadahi pelajar dan santri, harus dikembaikan pada posisi semula, yaitu tempat aktualisasi dan pengembangan pelajar dan santri, tanpa meninggalkan basis non-pelajar.
Dengan keputusan penting ini berarti IPNU-IPPNU bertekad mengembalikan basis massanya pada sekolah dan pesantren. Jika semula IPNU-IPPNU memiliki wilayah garapan yang samar karena istilah “putra” dan ”putri” tidak memiliki identifikasi yang jelas, maka pada saat mendatang segmen garapan IPNU-IPPNU diperjelas pada segmen santri dan pelajar. Untuk mencapai itu tentu dengan melewati masa transisi yang panjang karena kenyataannya sampai hari ini kader IPNU-IPPNU non-terdidik masih sangat banyak. Namun begitu sesungguhnya yang lebih penting saat ini adalah memaknai “kembali ke pelajar” dengan pemaknaan yang luas, yakni sebagai komitmen untuk membentuk dirinya sebagai learning society. Artinya, “kembali ke pelajar” harus diterjemahkan sebagai sikap untuk membenamkan diri pada tradisi dan budaya keilmuan dalam setiap gerak dan aktivitasnya. Terminologi pelajar dalam konteks ini tidak dimaknai sebaga orang yang sedang menempuh proses belajar secara formal di bangku sekolah, melainkan harus dimaknai secara luas sebagai orang yang sedang ngangsu kawruh. Belajar tidak harus di sekolah, pesantren atau lembaga lain. Belajar bisa dilakukan di manapun: lingkungan, organisasi, keluarga, masyarakat dan lain-lain. Belajar adalah sebuah tekad yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena itulah maka segala gerakan dan program IPNU-IPPNU harus diorientasikan pada pengembangan intelektualitas, peningkatan potensi dan profesionalisme kader.
Menanam “Investasi”, Merebut Makna
Ada tiga konsekuensi besar setelah kembalinya IPNU-IPPNU sebagai organisasi pelajar, yaitu mengembalikan basis IPNU-IPPNU ke sekolah dan pesantren; membangun gerakan berbasis keilmuan di kalangan muda NU; dan melakukan advokasi pendidikan. Ketiganya harus berjalan bareng seiring makin meningkatnya kesadaran kita akan peran yang semestinya dimainkan oleh organisasi kader ini. “Tugas” ini adalah sebuah kiniscayaan sebagai tuntutan-–atau tepatnya kebutuhan—sejarah.
Mengembalikan IPNU-IPPNU ke “kandang”nya (sekolah dan pesantren) menjadi sangat urgen untuk melakukan kaderisasi di kalangan remaja terdidik. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa pelajar adalah “investasi masa depan” bagi NU dan bangsa. Sementara ada kenyataan bahwa pelajar NU sebagai kekuatan masa depan kini tidak mendapat perhatian yang optimal oleh Nahdlatul Ulama, terutama dalam hal penanaman nilai dan gerakan. Untuk merealisasikan agenda ini, maka IPNU-IPPNU harus “ekspansi” ke sekolah dan pesantren. Agenda ini sebenarnya sudah dimulai setidaknya tiga tahun terakhir, meskipun belum menyeluruh dan terjadi hanya di sekolah Ma’arif. Agenda masuk ke sekolah bahkan harus direalisasikan tidak hanya pada sekolah yang bernaung di bawah LP. Ma’arif, melainkan juga sekolah non-Ma’arif yang berbasis NU maupun sekolah umum sekalipun.
Komisariat IPNU-IPPNU di sekolah adalah menggantikan posisi OSIS di sekolah yang bernaung di bawah LP Ma’arif NU dan organisasi santri di pesantren. Sementara ia menjadi organisasi ekstra kampus di sekolah non-Ma’arif, termasuk sekolah-sekolah negeri. Sebagaimana kita tahu masuknya organisasi non-OSIS ke sekolah menjadi urgen karena OSIS jelas merupakan peninggalan “masa lalu” yang bermuatan politis. Dikatakan politis karena ia telah menjadi alat penyeragaman untuk membatasi ruang gerak pelajar. Dengan OSIS-lah pelajar kita dikebiri. Masuknya IPNU-IPPNU diharapkan membawa warna lain. Ia diproyeksikan menjadi pemerdeka bagi kreativitas dan aktualisasi pelajar.
Demikian juga di pesantren. Meskipun di beberapa daerah IPNU-IPPNU sudah masuk pesantren, namun sampai hari ini belum terlihat optimal. Padahal pesantren bagaimanapun adalah bagian terpenting dari keberadaan Nahdlatul Ulama. Terlebih sekarang, pesantren diakui sebagai pendidikan yang setara dengan pendidikan formal. Artinya, menggarap segmen santri tidak boleh dipandang tidak sepenting menggarap segmen siswa. Memang, kendala terbesarnya--menurut keluhan di beberapa daerah—adalah otonomi pesantren dan otoritas kyai. Kebijakan IPNU-IPPNU untuk masuk pesantren tidak jarang bertabrakan dengan kebijakan pemimpin pesantren. Hal ini memang sedang menjadi perhatian kita.
Lebih dari sekolah, masuknya IPNU-IPPNU ke pondok pesantren dihadapkan dengan tugas yang cukup berat. Sebagai lembaga pendidikan tertua, pesantren menyimpan potensi besar bagi keilmuan agama. Tugas besarnya adalah melakukan “perkawinan” intelektual, agar dunia pesantren tidak saja “melek”, melainkan juga terbuka bagi penguasaan keilmuan umum. Hal ini menjadi penting sebagai “alat” pembumian keilmuan agama. Singkat kata, masuk sekolah dan pesantren adalah menanam investasi perjuangan masa depan.
Agenda penguatan gerakan berbasis keilmuan juga menjadi konsekuensi yang tak terelakkan. Amanat besar dan terpenting “kembali ke pelajar” adalah perubahan paradigma gerakan IPNU-IPPNU menjadi gerakan keilmuan (atau dengan istilah lain, kepelajaran). Kemungkinan ini harus diberangkatkan dari realitas umum di tubuh NU di mana telah terjadi pergeseran yang serius dalam hal pengembangan keilmuan dan pemikiran. Hal ini disebabkan oleh tidak terdapatnya pengkaderan yang serius terhadap kaum cendekiawan. Sebagian besar kekuatan NU -termasuk kalangan mudanya- tersedot pada wilayah politik formal yang dalam beberapa hal sering bertentangan dengan arah perjuangan jam’iyah. Di sinilah kembalinya IPNU-IPPNU ke pelajar menemukan momentum yang tepat sebagai bentuk tanggung jawab besar bagi sejarah gerakan Nahdlatul Ulama. Dengan ungkapan yang lebih ringan, perubahan ke pelajar adalah “membelokkan” arah dari politisasi ke intelektualisasi.
“Pelajar”-dalam pengertian ini akhirnya dimaknai secara luas, yaitu orang yang sedang belajar di lembaga pendidikan lain selain sekolah dan pesantren, bahkan  yang sedang tidak mengikuti proses pendidikan pun dikategorikan sebagai pelajar. IPNU-IPPNU harus menjadi organisasi pengkaderan berbasis intelektualisme di kalangan muda NU. Arah orientasinya adalah secara substansial membangun komitmen keilmuan. Gerakannya adalah melakukan pengembangan keilmuan dan pemikiran dalam berbagai disiplin.
Demikian juga advokasi kepelajaran, harus menjadi agenda yang harus diperankan oleh IPNU-IPPNU. Hal ini menjadi penting karena meskipun “zaman” telah berubah, masih terlalu banyak kebijakan pendidikan kita yang merugikan dan tidak memihak rakyat kecil, dari biaya pendidikan yang melangit sampai yang belakangan sedang ramai adalah Ujian Nasional (UN) yang sesungguhnya melanggar UU Sisdiknas. Orde baru memang telah berlalu, tapi masih terlalu banyak “warisan” yang kita tanggung. Karena itulah berbagai kebijakan yang saat ini sudah tidak populer dan tidak relevan dengan demokratisasi harus dilawan. Sebagai organisasi pelajar, IPNU-IPPNU memang harus berpolitik, tetapi bukan dalam lingkup formal dan praktis. Politik ala IPNU-IPPNU adalah mendesakkan kebijakan-kebijakan yang memihak kepentingan pelajar khususnya dan pendidikan secara umum. Penulis menyebutnya sebagai politik kepelajaran. Ini semua dilakukan untuk merebut makna, dengan tetap melakukan tugas-tugas kemasyarakat sebagai kekuatan civil society.



Oleh. PC IPNU_IPPNU Kab Cilacap

Mars IPPNU

Sinar lah gel ap terbitlah terang
Mentari timur sudah ber cahya
Ayunkan langkah pukul genderang
Segala rintangan mundur semua
Tiada laut sedalam iman
Tiada gunung setinggi cita
Sujud kepala kepada tuhan
Tegak kepala lawan derita
Dimalam yang sepi di pagi yang terang
Hatiku teguh bagimu ikatan
Dimalam yang hening
Dihati membakar
Hatiku penuh bagimu pertiwi
Mekar seribu bunga ditangan
Mekar cintaku pada ikatan
Ilmu ku cari amal kuberi
Untuk Agama bangsa negeri

Mars IPNU

Mars IPNU


Wahai pelajar Indonesia
Siapkanlah barisanmu
Bertekat bulat bersatu
dibawah kibaran panji IPNU
Wahai pelajar Islam yang setia
Kembangkanlah agamamu
Dalam negara Indonesia
Tanah air yang kucinta
Dengan berpedoman kita belajar
Berjuang serta bertakwa
Kita bina watak nusa dan bangsa
Tuk kejayaan masa depan
Bersatu wahai pelajar islam jaya
Tunaikanlah kewajiban yang mulia
Ayo majuupantang mundur
Dengan rahmat  tuhan kita perjuangkan
Ayo majuupantang mundur
Pasti tercapai adil makmur

Senin, 25 April 2011

LEADERSHIP

KEPEMIMPINAN



A.    Arti Kepemimpinan

·         Kepemimpinan adalah suatu kekuatan yang menggerakkan perjuangan atau kegiatan seseorang menuju sukses. Dalam diri setiap orang terdapat potensi kepemimpinan, namun sebagian besar tidak disadari olehnya (Robert Schuller)
·         Kepemimpinan bersifat murni subjektif dan sulit diukur secara objektif. Kepemimpinan tidak ada rumusnya dan tidak bisa diajarkan (Geneen).
·         Kepemimpinan adalah suatu bentuk seni yang unik, yang membutuhkan kekuatan dan visi pada tingkat yang luar biasa (Richard Nixon).
·         Kepemimpinan adalah mitos, atau setidak-tidaknya mengandung unsur mitos, karena merupakan keterampilan yang langka. Ia adalah suatu proses insani, penuh dengan uji coba, menang atau kalah, banyak menyita waktu, sesuatu yang kebetulan. Pendeknya, kepemimpinan adalah kharismatik (Bennis dan Nanus).
·         Kepemimpinan sesungguhnya bersumber dari keunggulan manusia, tetapi tidak ada resep atau formula untuk menjalankanya. Ia menyita begitu banyak waktu, memerlukan kerja keras, dan selalu dihantui dengan sinisme. Ia mencari sejauh mana definisi kepemimpinan memberi perhatian pada kualitas kepemimpinan.
·         Kepemimpinan yang berkualitas adalah kemampuan atau seni memimpin orang biasa untuk mencapai hasil-hasil yang luar biasa (Glenn).
·         Kepemimpinan adalah dipahami sebagai proses Dinamis mempengaruhi dan memperkembangkan orang, kelompok atau komunitas untuk mencapai suatu tujuan bersama.

B.    Unsur Kepemimpinan

Dari pengertian tersebut terdapat beberapa unsur kepemimpinan yang perlu dipahami, yaitu ;
1.     Adanya yang dipimpin, baik itu pribadi, anggota kelompok atau komunitas masyarakat.
2.     Adanya pemimpin.
3.     Adanya kegiatan yang menmggerakkan atau melibatkan orang.
4.     Adanya tujuan yang hendak dicapai.
5.     Adanya proses dalam kelompok.
Seorang pemimpin dengan demikian mengambil posisi sebagai pengorganisasi kelompok/anggota kelompok untuk melakukan sesuatu guna mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian seorang pemimpin membutuhkan tidak saja pengetahuan yang lebih luas mengenai apa yang ingin dituju dan cara mencapai tujuan tersebut, tetapi juga teknik untuk memenangkan hati dan pikiran anggota kelompok tersebut, agar secara sukarela mengembangkan “tenaga dan pikiran” untuk keperluan pencapaian tujuan organisasi.

C.    Hukum Kepemimpinan

Sukses dan gagalnya suatu organisasi melaksanakan misinya hanya dapat diketahui jika pemimpin menjalankan tugasnya dengan baik. Beberapa hukum kepemimpinan yang menuntun seorang pemimpin agar sukses adalah,
1.     berkomunikasi
2.     mengkoordinasi
3.     mengorganisasi
4.     memotivasi
5.     memanfaatkan sumber daya
6.     menetapkan pedoman kerja
7.     mengklarifikasi harapan-harapan

D. Pendekatan Kepemimpinan

Untuk memahami kepemimpinan dapat digunakan empat macam pendekatan
a.                                                    pendekatan Sifat (trait approach)
Pada pendekatan ini dibahas tentang sifat-sifat yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin, antara lain banyak mengetahui  (well-informed), tidak kaku (flexible), selalu berperan serta, tidak otoriter (dempkratis), dan tidak suka menyerang dengan kata-kata. Keith Davis (Thoha, 1983) menggambarkan sifat-sifat kepemimpinan itu sebagai kecerdasan, kedewasaan dan keleluasaan hubungan sosial, motivasi diri dan mendorong berprestasi, serta sikap hubungan kemanusiaan.

b.     Pendekatan Gaya (stylistyc approach). Dalam kaitan ini ada empat gaya kepemimpinan (menurut Gatto, 1992), yang meliputi;
·          Gaya direktif. Pada dasarnya gaya ini adalah gaya otoriter, yakni semua kegiatan terpusat pada pemimpin sedangkan orang lain diberi sedikit saja kebebasan untuk berkreasi dan bertindak seperti keinginan pemimpin.
·          Gaya kolsultatif. Gaya ini memberi fungsi pemimpin sebagai tempat konsultasi, pemberi bimbingan, motivator, memberi nasehat dalam rangka mencapai tujuan.
·          Gaya partisipatif. Gaya ini bertolak dari gaya konsultatif yang berkembang  kearah saling percaya antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin cenderung memberi kepercayaan pada kemampuan kepada orang lain, banyak mendengar, menerima, bekerja sama, dan memberi dorongan dalam proses pengambilan keputusan.
·          Gaya free-rein atau gaya delegasi yaitu gaya yang mendorong kemampuan staf untuk mengambil inisiatif. Gaya ini hanya bisa berjalan jika staf memperlihatkan tingkat kompetensi dan keyakinan akan mengejar tujuan dan sasaran organisasi.

c.   Pendekatan Situasional (situational approach)
Efektivitas organisasi, menurut Fiedler (19740, tergantung pada dua variabel yang saling berinteraksi, yaitu sistem motivasi dari pemimpin, dan tingkat atau keadaan yang menyenangkan dari situasi. Sehingga, menurutnya, situasi kepemimpinan digolongkan pada tiga dimensi;
·          Hubungan pemimpin-anggota, yaitu bahwa pemimpin akan mempunyai lebih banyak kekuasaan dan pengaruh, apabila ia dapat menjalin hubungan yang baik dengan anggota-anggotanya
·          Struktur tugas yaitu bahwa penugasan yang terstruktur  baik, jelas, ekplisit, terprogram, akan memungkinkan pemimpin lebih berpengaruh daripada sebaliknya
·          Posisi kekuasaan, pemimpin akan mempunyai pengaruh dan kekuasaan apabila posisinya atau kedudukannya memperkenankan ia memberi ganjaran, hukuman, mengangkat dan memecat, daripada kalau ia tidak memiliki kedudukan seperti itu.
Kepemimpinan yang efektif ialah kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, memelihara dan mengembangkan usaha dan iklim yang koperatif dalam kehidupan organisasional dan yang tercermin dalam kecekatannya mengambil keputusan (Siagian, 1982).
d.  Pendekatan Fungsional
Raymond Cattell dianggap pelopor teori ini. Ia berasumsi bahwa sesuatu perilaku yang dapat memberi sumbangan pada pencapaian tujuan kelompok dianggap sebagai kepemimpinan, tidak peduli siapa yang menampilkan perilaku tersebut. Gaya kepemimpinan yang objektif dan tidak memihak ternyata mendorong produktivitas kelompok dibandingkan gaya supervisi perseorangan. 

E. Teori-teori Kepemimpinan
 Beberapa kelompok teori kepemimpinan;
1.     Teori-teori orang besar (Great-Man Theories)
2.     Teori-teori sifat (Trait theories)
3.     Teori-teori Lingkungan (environmental theories) 
Tiap masa mempunyai keunikan dan melahirkan pemimpin yang mempu mengisi kekosongan pada saat itu. Tampilnya pemimpin sebenarnya itergantung pada kemampuan dan ketrampilannya menyelesaikan masalah sosial yang memang sangat dibutuhkan di saat timbul ketegangan, perubahan-perubahan, dan adaptasi.
4.     Teori-teori Situasional-Pribadi (personal-Situational theories)
Berdasarkan teori ini kepemimpinan dihasilkan oleh tiga faktor yang saling berkaitan, yaitu; (1) sifat-sifat pribadi pemimpin; (2) warna dan karakteristik kelompoknya; (3) peristiwa, perubahan, atau masalah yang dihadapi oleh kelompok tersebut.
5.     Teori-teori Psikhoanalitik (Psychoanalytic Theories)
Teori ini menginterpretasikan pemimpin sebagai figur seorang ayah, sebagai sumber kasih dan ketakutan, simbol superego, tempat pelampiasan kekecewaan, frustasi dan agresivitas para pengikut, tetapi juga sebagai orang yang membagi kasih kepada pengikutnya. Pemimpin seperti ini cenderung dan mampu untuk membangkitkan keyakinan, mampu mengatikulasikan cita-cita dan ide, dapat mendominasi para pengikut yang terlebih dahulu sudah siap secara psikologis untuk itu.
6.         Teori-teori Antisipasi-Interaksi (Interaction-Ekpectation theories)
Dua model dalam teori ini antara lain:
    • Leader Role Theory. Variabel utama kepemimpinan ini: action, interaction  dan sentiment. Apabila frekuensi interaksi dan peran serta dalam aktivitas bersama itu meningkat maka perasaan saling memiliki akan timbul dan norma-norma kelompok akan makin jelas. Kepemimpinan ini didefinisikan dalam kerangka pendorong lahirnya interaksi.
    • A Stage Model. Dalam model ini bila pemimpin meninmgkatkan ketrampilan bawahannya, itu juga berarti mendorong bawahan untuk meningkatkan motivasi. Artinya ketrampilan dan motivasi itu akan memperbaiki efektivitas bawahan sendiri.
7.      Teori-teori Manusiawi (Humanistic theories)
         Teori ini menekankan tumbuh kembangnya organisasi yang efektif dan kohesif. Fungsi kepemimpinan ialah memodifikasi organisasi sedemikian rupa sehingga orang-ornag dalam organisasi merasa memiliki kebebasan untuk merealisasikan potensi motivasionalnya dalam memenuhi kebutuhannya, tetapi juga pada saat bersamaan dapat memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan organisasi.


8.     Teori-teori Pertukaran (Excange Theories)
Bahwa sebenarnya interaksi sosial merupakan suatu bentuk pertukaran (a form of exchange) yang anggota-anggota kelompok memberi dan menerima kontribusi secara sukarela atau Cuma-Cuma

F   Elemen Kepemimpinan
Bleke dan Mouton (1986) mengajukan enam elemen dalam kepemimpinan efektif;
  1. initiative. Pemimpin mengambil inisiatif jika ia melakukan aaktivitas tertentu dan aktivitas itu dilakukan dengan kemauan keras dan didukung oleh bawahan dengan antusiasme.
  2. Inquiry (menyelidiki). Pemimpin selalu butuh informasi yang keomprehensif mengenai bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk itu ia perlu mempelajari latar belakang segala hal.
  3. Advocacy (Dukungan dan Dorongan). Seorang pemimpin perlu mendukung ide yang dimaksud dan meyakinkan orang lain untuk berbuat hal yang sama.
  4. Conflict Solving (memecahkan masalah). Pemimpin wajib menyelesaikan konflik dalam organisasi.
  5. Decision Making (Pengambilan Keputusan). Keputusan yang dibuat hendaknya memberi keuntungan bagi kebanyakan orang.
  6. Critique (Kritik). Kritik diartikan sebagai mengevaluasi, menilai. 

G.    Dimensi Kepemimpinan

      Dalam konteks kepemimpinan, terdapat dua dimensi yang perlu dikembangkan, yaitu pertama,  berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction)  dalam tindakan atau aktifitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-orang yang dipimpin. Kedua, berkenaan dengan rtingkat dukungan atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok, yang dijabarkan dan dimanifestasikan melalui keputusan-keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemimpin.
       Apa yang semestinya dilakukan oleh pemimpin agar kedua dimensi tersebut terpenuhi dan pada gilirannya membuat organisasi berjalan produktif? Apa yang harus dilakukan pemimpin agar ia dapat memberikan “arahan” yang dapat diterima pengurus lain/anggota organisasi serta agar memperoleh dukungan yang maksimal dari keseluruhan elemen organisasi atau mereka-mereka yang dipimpin?

Ada dua tugas utama yang dapat dijelaskan dalam konteks ini
  1. Tugas yang berkaitan dengan sesuatu yang ingin dikerjakan, atau berhubungan dengan kinerja organisasi.
Hal ini meliputi:
(a)      mengupayakan agar kelompok/organisasi melakukan kegiatan tertentu. Dalam hal ini kemampuan untuk mendorong inisiatif anggota akan sangat menentukan.
(b)      Mengatur arah dan langkah kegiatan kelompok/ organisasi.
(c)      Memberikan informasi atau megorganisasi informasi yang dibutuhkan kelompok dalam melaksanakan kegiatan.
(d)      Memberikan dukungan.
(e)        Menilai, mengembangkan mekanisme penilaian terhadap hasil kerja kelompok,
(f)         Menyimpulkan, mengorganisasikan gagasan yang berkembang dalam organisasi/ kelompok untuk keperluan menjadi landasan tindakan-tindakan selanjutnya.
Rincian tugas di ats tentu saja tidak perlu dipahami sebagai suatu tugas individual, melainkan patut dilihat sebagai suatu tugas kepemimpinan yang dapat dilakukan secara individual meupun kolektif. Inti dari tugas pertama tersebut adalah mengupayakan sedemikian rupa sehingga seluruh potensi organisasi dapat secara optimal dipergunakan sebagai wahana mencapai tujuan organisasi.
  1. Tugas yang berkaitan dengan menjaga huibungan dinamis antarpengurus/anggota kelompok/ organisasi.
Hal ini meliputi:
(a)     Mendorong, yakni usaha pemimpin untuk menstimulasi atau memberi rangsangan pada pengurus lain/anggota untuk mengembangkan sesuatu, terutama agar tercipta suasana penuh kekompakan  dalam organisasi.
(b)     Mengungkapkan, yakni kesediaan pemimpin untuk berbagai pendapat dan informasi dengan mereka yang dipimpin, termasuk pula kemauan untuk memberi kesempatan yang dipimpin untuk mengungkapkan hal-hal yang menjadi kepeduliannya.
(c)     Mendamaikan, yakni mengupayakan adannya penyelesaian konflik dalam organisasi secara baik dan tepat, bukan dengan tujuan untuk anti organisasi.
(d)     Mengalah, yakni kesediaan pemimpin untuk menyadari lebuh terbiasa menerima kritik dan bersedia mengubah diri bila keliru.
(e)     Memperlancar, yakni sikap dan tindakan pemimpin yang ditujukan untuk memprmudah partisipasi mereka yang dipimpin dalam kegiatan organisasi dan usaha-usaha pencapaian tujuan organisasi.
(f)      Memasang aturan main (rule of the game).  Dalam hal ini pemimpin menjadi teladan sekaligus “penjaga utama” berbagai aturan main yang disepakati, sehingga ketertiban dapat
(g)      diwujudkan dalam organisasi. Inti dari seluruh tugas tersebut adalah kebutuhan untuk mengembangkan hubungan yang produktif di kalangan pengurus/ anggota kelompok/ organisasi, yang pada gilirannya dapat mengefektifkan pencapaian organisasi. Wassalam.

D.    Tipe Kepemimpinan


TIPE PEMIMPIN
IMPLIKASI DALAM PENGEMBANGAN KEGIATAN ORGANISASI

OTORITER

Pemimpin membuat keputusan dan Mengumumkannya kepada pengurus/anggota organisasi, tanpa keinginan atau tanggung jawab untuk mendiskusikan alasannya dengan mereka.
Pemimpin membuat dan mengumumkanya keputusannya, tapi “menawarkanya” kepada pengurus lain/anggota dengan cara menjelaskan alasan-alasannya yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu (monolog)
Pemimpin Mengumumkan keputusannya dan mempersilahkan pengurus lain/anggota mengajukan pertanyaan jika ada yang dianggap tidak jelas (ada dialog, tetapi tanpa keinginan sama sekali untuk mengubah keputusan tersebut, kecuali dalam hal-hal yang bersifat teknis)

KONSULTATIF

(DEMOKRAT)
Pemimpin menyampaikan keputusan pokok yang masih “kasar” (tentatif) dan mengajak pengurus lain/anggota untuk mengubah jika perlu (ada dialog dengan keinginan mengubah atau memperbaiki keputusan).
Pemimpin menyampaikan gambaran keadaan dan masalah yang dihadapi pada pengurus lain/anggota, lalu mengajak anggota membahasnya bersama dan akhirnya membuat keputusan berdasarkan masukan-masukan yang diperolehnya dari diskusi dengan mereka.
Pemimpin mengajak pengurus lain/anggota untuk mengidentifikasi bersama tentang gambaran situasi dan masalah yang dihadapi dan membuat kesimpulan bersama, meskipun kata putus tetap diambil oleh sang pemimpin.

PARTISIPATIF

Pemimpin mengajak pengurus lain/anggota mendiskusikan keadaan dan masalah yang dihadapi dan membuat keputusan bersama-sama, tetapi keputusan yang diambil digariskan batas-batas ketentuannya oleh sang pemimpin berdasarkan keadaan nyata organisasi (misalnya; plafon dana, batas waktu penyelesaian, dsb)
Pemimpin mengajak pengurus lain/anggota membahas keadaan dan masalah yang dihadapi, mendiskusikan bersama dan membuat keputusan bersama tanpa pembatasan dan ketentuan, sepenuhnya diserahkan pada diskusi mereka. Pemimpin hanya mengorganisir diskusi tersebut.